Judul : Pengertian Thoriqoh & Tasawwuf
link : Pengertian Thoriqoh & Tasawwuf
Pengertian Thoriqoh & Tasawwuf
Pengertian Tasawuf
Tasawuf atau Sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat.. Menurut Hakim Hassan dalam al-Tasawwuf fi Syi’ri al-’Arab, istilah tasawuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson dalam bukunya al-Tasawwuf al- Islami wa Tarikhihi, pertengahan abad ketiga hijriyah.
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan dari kata “Shuf’ (bulu domba), “Shaf’ (barisan), “Shafi/Shofa” (jernih) dan dari kata “Shuffah” (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian shahabat Nabi saw.). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri para sufi.
Dan Imam al-Qusyairi[4] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil Shodiq bin Hasan al-Qonuji dalam kitabnya “Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayani ahwal al- Ulum” sebagai berikut:
وقال القشيري – رحمه الله – : ولا يشهد لهذا الاسم اشتقاق من جهة العربية ولا قياس والظاهر إنه لقب ومن قال : اشتقاقه من الصفا أو من الصفة فبعيد من جهة القياس اللغوي قال : وكذلك من الصوف لأنهم لم يختصوا بلبسه قلت : والأظهر إن قيل : بالاشتقاق أنه من الصوف وهم في الغالب مختصون بلبسه لما كانوا عليه من مخالفة الناس في لبس فاخر الثياب إلى لبس الصوف فلما اختص هؤلاء بمذهب الزهد والانفراد عن الخلق والإقبال على العبادة اختصوا بمآخذ مدركة لهم.[5]
“Imam al-Qusyairi RA berkata: Tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda ini ( tasawwuf) adalah berakar kata dari bahasa arab juga tidak dianalogikan dari bahasa arab. Secara lahiriyah itu hanya laqab (julukan) saja, adapun pendapat yang mengatakan bahwa kata (tasawwuf) itu berasal dari kata shofa atau shuffah adalah sangatlah jauh dari sudut pandangan qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata Shuf adalah tidak berdasar, karena mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memkai pakaian dari shuf (bulu domba). Walau memang mereka pada umumnya memakai pakaian dari wol itu karena mereka ingin memakai pakaian yang yang tidak menunjukan kebanggaan atau kemewahan seperti umumnya orang- orang, lantas mereka yang sebagai besar memakai pakaian sedarhana itu (bahkan rendah dan hina pada masa itu) terkenal dengan sifat zuhud, uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi (sebagai identitas) yang mudah dari apa yang orang-orang ketahui.”
Secara terminologispun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh Syekh Yusuf al-Rifa’i[6] dianalisa mencapai lebih kurang dua ribu definisi[7] dan yang paling simpel menurutnya adalah definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibn ‘Ajibah[8], yaitu:
صدق التوجه الى الله بما يرضاه و من حيث يرضاه
“Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan apa-apa yang diridloi-Nya sesuai dengan apa yang diridloi-Nya (diingini-Nya)”
Al-Qonuji mendefinisikan tasawuf dengan;
علم يعرف به كيفية ترقي أهل الكمال من النوع الإنساني في مدارج سعادتهم والأمور العارضة لهم في درجاتهم بقدر الطاقة البشرية [9]
“Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatan derajat tersebut sesuai dengan kemampuan manusia.”
Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah …
Pengertian Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi, dalam kitab Tanwir al- Qulub-nya adalah;
”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah)
maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut.
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah.
Karena itu, seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat- syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ .الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka pula tidak bersedih hati. Wali-wali Allah itu ialah orang-orang Yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. (Yunus 10: 62-63)
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang.
Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!… Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia.
Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat) .”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari”.
Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya kepada sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.
Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan.
Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.. Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).
Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya.
Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya
SEJARAH PERKEMBANGAN THORIQOH DI INDONESIA
A. Pengantar; Seputar Thoriqoh, Definisi dan Ruang Lingkup
Thoriqoh secara bahasa berarti perjalanan seseorang, cara, ataupun alirannya. Secara istilah, thariqah sebagaimana didefinisikan oleh Syaikh Zainuddin ibn Ahmad al-Malibari dalam kitab Kifayatul Atqiya adalah melakukan atau mengamalkan sesuatu dengan cara lebih berhati-hati dalam mengamalkan seluruh amalan, tidak melakukan hal-hal yang mendapatkan kemurahan (rukhshoh). Thoriqoh juga berarti berpegang teguhnya pengamal thoriqoh kepada hal-hal yang berat seperti riyadhoh yaitu mengalahkan hawa nafsu, dengan sedikit makan, minum dan menjauhi hal-hal yang boleh dilakukan[1].
Senada dengan al-Malibari, Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili dalam kitabnya Tanwirul Qulub, menerangkan definisi thoriqoh sebagai pengamalan syariah islam dengan cara bersungguh-sungguh, menjauhi anggapan ringan dari sesuatu yang tidak ada keringanan apapun dan kalau kita mau mengatakan : menjauhi larangan secara terang-terangan ataupun sembunyi, melaksanakan perintah Allah menurut kadar kemampuannya yang dilakukan atas petunjuk dan bimbingan dari orang arif (mengetahui kebesaran Allah) dan orang yang sudah mencapai derajat puncak (orang-orang pilihan Allah)[2].
Demikian tadi pengertian makro atau pengertian secara umum mengenai thoriqoh. Melihat praktik di lapangan bahwa para penganut thoriqoh di Indonesia yang banyak amalannya berkaitan dengan dzikir, maka pendapat yang mungkin paling mendekati realita masyarakat kita adalah pendapat dari Syaikh Ali ibn Muhammad al-Jurjani dalam kitabnya at-Ta’rifat, sebagai berikut[3]:
Thoriqoh adalah perilaku khusus yang bersinggungan dengan para pelaku thoriqoh yang bertujuan mendekatkan diri (taqarrub) dan wusul kepada Allah dengan cara memutus kepangkatan duniawi menuju tingkatan ukhrowi.
Thoriqoh merupakan salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan perilaku kehidupan Beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai sekarang ini.
Thoriqoh adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan membersihkan relung-relung hati dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebutuhan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allah SWT. dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mu’min (muslim) setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam (50 sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah SWT. dan para Rasul-Nya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang disyariatkan Allah SWT, berupa sholat (yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya), zakat, puasa, dan haji untuk meningkatkan diri dan memasuki thoriqoh dzikir dengan cara khusus/tertentu[4].
Dalam kekeluargaan thoriqoh biasanya terdiri dari syaikh thoriqoh, syaikh mursyid (khalifah), mursyid sebagai guru thoriqoh, murid dan pengikut thoriqoh, serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, sistem dan metode dzikir[5]. Upacara keagamaan bisa berupa bai’at, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan thoriqoh, talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syaikh thoriqoh kepada murid-muridnya.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, salah satunya yang sangat penting bagi sebuah thoriqoh adalah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi sebuah thoriqoh, yang akan menjadi tolak ukur sebuah thoriqoh itu mu’tabaroh (dianggap sah) atau tidak. Silsilah thoriqoh adalah “nisbah”, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari nabi. Kalau tidak demikian halnya berarti thoriqoh itu terputus dan palsu, bukan warisan dari nabi[6].
Silsilah thoriqoh berisi rangkaian nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertalian dengan yang lain. Biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang diserahkan kepada murid thoriqoh sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk (irsyad) dan peringatan (talqin) serta sesudah menerima janji (bai’ah) untuk tidak melakukan ma’siyat sekaligus menerima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran thoriqoh kepada orang lain.
B. Periodisasi Sejarah Perkembangan Thoriqoh di Indonesia
Pembicaraan tentang sejarah thoriqoh di Indonesia tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah Islam di Indonesia. Islam yang masuk pertama kali di Nusantara adalah Islam yang bercorak sufi. Islam dengan coraknya yang demikian itu dengan mudah dapat diterima serta diserap ke dalam kebudayaan masyarakat setempat[7]. Ketika orang pribumi Nusantara mulai menganut Islam, corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawuf. Pemikiran para sufi besar seperti ibn al-Arabi dan Abu Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan muslim generasi pertama. Justru karena tasawuf ini penduduk Nusantara mudah memeluk Islam. Secara relatif corak pemikiran Islam yang pernah dipengaruhi oleh tasawuf selanjutnya berkembang menjadi thoriqoh (thoriqoh)[8].
Kekurangan informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam, para kiai dan ulama kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah[9]. Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadi salah satu sebab sulitnya menemukan fakta tentang masa lampau Islam di Indonesia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya seperti yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah saja, pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab-kitab Fiqih itu dijadikan referensi dalam memahami ajaran Islam di perbagai pesantren, bahkan dijadikan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan pengadilan agama.[10] Islam di Asia Tenggara (Indonesia khususnya) mengalami tiga tahap :
Pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia disekitar pelabuhan (Terbatas).
Kedua : datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di semenanjung Malaya, dan Spanyol di Fhilipina, sampai abad XIX M
Ketiga : Tahap liberalisasi kebijakan pemerintah Kolonial, terutama Belanda di Indonesia.[11] Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadikan pengaruh luar tidak dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinya, maka lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia. Misalnya : Lahirnya thoriqoh Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua thoriqoh yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia, kiranya Islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan simbol kesatuan. Berbagai agama lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan thoriqohnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya[12].
Memang agak sulit melacak perkembangan thoriqoh di Indonesia. Para ahli sejarah kebanyakan berspekulasi dengan cara menganalogikan masuknya thoriqoh ke di Indonesia dengan masuknya Islam sendiri ke bumi Indonesia. Hal ini mengingat jumlah thoriqoh yang begitu banyak, juga dalam tubuh masing-masing thoriqoh sendiri mempunyai silsilah yang mana silsilah tersebut juga merupakan bagian dari sejarah thoriqoh itu sendiri. Proses masuknya masing-masing thoriqoh ke bumi Indonesia terkait dengan proses transfer ilmu dan sanad dalam silsilah thoriqoh itu.
Perkembangan thoriqoh di Indonesia secara nyata baru terlihat pada abad XVII, yaitu dimulai pertama kali oleh Hamzah Fansuri (1610) dan muridnya Syamsuddin as-Sumatrani (1630) akan tetapi keduanya tidak meninggalkan organisasi thoriqoh yang berlangsung terus menerus. Baru kemudian setelah Abdur Rauf ibn Ali Singkel memperkenalkan thoriqoh Syattariyah di Aceh pada 179 M, organisasi thoriqoh ini menjadi jelas dan dapat ditelusuri perkembangannya melalui silsilah hubungan guru murid sampai ke beberapa daerah di Indonesia[13].
Di Sulawesi, thoriqoh juga berkembang atas prakarsa Syaikh Yusuf Tajul Khalwati (1621-1689 M). Ulama Makassar ini dikenal sebagai seorang sufi yang menerima banyak ijazah thoriqoh seperti Qadiriyah dari Nuruddin ar-Raniri, Naqsyabandiyah dari Muhammad Abdul Baqi Billah, Ba’alawiyyah dari Sayyid Ali, Syattariyyah dari Burhanuddin al-Mula ibn Ibrahim dan Khalwatiyyah dari Abdul Barakat Ayyub ibn Ahmad.
Pada abad XVII ini, perkembangan thoriqoh tampaknya terpengaruh dengan paham wahdatul wujud. Ini bisa dilihat, walaupun thoriqoh yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin as-Sumatrani oleh Bruinessen secara tegas dikatakan thoriqoh Qadiriyyah, namun berbeda dengan thoriqoh yang Qadiriyyah yang sekarang berkembang. Kedua tokoh ini dikenal sebagai penganut paham wahdatul wujud, sedangkan thoriqoh Qadiriyyah sekarang tidak lagi mengenal ajaran tersebut.
Pada abad XVIII, perkembangan thoriqoh masih juga menunujkkan adanya pengaruh paham wujudiyyah, tetapi kecenderungan pada pentingnya fiqh sudah mulai nampak. Hal itu terlihat antara lain pada karya-karya ulama sufi abad tersebut, diantaranya syeikh Abdus Samad al-Falimbani, syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, dan KH Ahmad Mutamakkin.
Pemurnian ajaran tasawuf dengan cara menghilangkan pandangan wahdatul wujud dan menekankan syariat baru terjadi pada abad XIX melalui tokoh-tokoh sufi yang juga berasal dari Indonesia sendiri setelah mereka kembali dari mencari ilmu di pusat Islam yakni Saudi Arabia[14].
Ada tiga ulama thoriqoh terpenting dalam kaitannya dengan pemurnian ajaran tasawuf pada abad XIX yaitu syeikh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, syeikh Muhammad Saleh az-Zawawi dan syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi. Thoriqoh yang dikembangkan oleh ketiga ulama sufi ini adalah thoriqoh Naqsabandiyah Khalidiyyah, Naqsabandiyyah Muzhariyyah dan thoriqoh Qadiriyyah Naqsabandiyyah. Ketiga aliran thoriqoh ini yang belakangan memiliki penganut paling besar dibanding thoriqoh lain[15].
Pada pertengahan abad XIX, seorang ulama dari Kalimantan mengajarkan thoriqoh Qadiriyyah yang digabungkan dengan thoriqoh Naqsabandiyyah sebagai kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama thoriqoh Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah. Ahmad Khatib Sambas adalah pembaharu dan pencetus thoriqoh tersebut. Setelah syeikh Ahmad Khatib Sambas meninggal (1878 M) kepemimpinan dilanjutkan oleh para muridnya, yaitu syeikh Abdul Karim Banten, syeikh Thalhah Cirebon dan Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura. Dari tiga pengganti (khalifah) syeikh Ahmad Khatib tersebut, Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura menurunkannya kepada para muridnya di Jawa Timur, seperti KH Romli. Di Jawa Tengah, KH Muslih mengambil silsilah thoriqohnya kepada syeikh Abdul Karim Banten. Di Jawa Barat, Abah Anom mengambil silsilah dari jalur Kyai Thalhah Cirebon[16].
Sampai pada saat ini, thoriqoh masih terus eksis dan berkembang. Eksistensi thoriqoh disebabkan para mursyid yang senantiasa mengajarkan dan menyebarkan thoriqohnya. Pada perkembangannya, thoriqoh kemudian menjadi suatu badan organisasi yang besar dan solid yang melingkupi ruang nasional.
C. Organisasi Thoriqoh
Munculnya organisasi thoriqoh di Indonesia pertama kali terjadi di Sumatera Barat dengan nama “Persatuan/Partai Pembela Thoriqoh Islam (PPTI)”. Pendirinya adalah DR. H. Jamaluddin. Tujuan organisasi ini sebagaimana namanya adalah untuk membela ajaran thoriqoh dari kritik dan kecaman yang dilontarkan para pembaharu seperti syeikh Ahmad Khatib ibn Abdul Latif al-Minagkabawi dan para muridnya yang dikenal dengan sebutan kaum muda di Sumatera Barat dan juga oleh Sayid Utsman ibn Abdullah ibn Aqil dari Jakarta[17].
Organisasi thoriqoh yang lebih luas didirikan di Tegalrejo, Magelang pada 10 Oktober 1957 dengan nama Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh oleh para ulama sufi Jawa. Organisasi ini mengusahakan berlakunya syariat Islam lahir maupun batin dengan berhaluan ahlus sunnah wal jamaah, yang berdasarkan salah satu dari madzhab empat dan mempergiat amal saleh lahir batin menuurut ajaran ulama as-salihin, termasuk dzikir kalimah thayibah dengan baiat salihah.
Organisasi Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh yang berdiri pada tahun 1975, selain untuk menyatukan diri menghadapi golongan umat Islam yang menentangnya, juga sekaligus sebagai instansi berwenang yang menilai sah atau tidaknya suatu thoriqoh[18].
Organisasi ini kemudian pecah menjadi dua, yang pertama menggunakan nama aslinya yang dipimpin oleh KH Mustain Romli dan yang kedua dengan menambah an-Nahdliyyah setelah kata Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh yang dipimpin oleh KH Idham Khalid dan KH Arwani. Perpecahan ini disebabkan konflik yang mana sebagian tokohnya ada yang masuk parpol, yakni KH Mustain Romli dkk pada tahun 1976.
Akibat perpecahan ini, maka dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang, diusulkan untuk didirikannya Jam’iyyah Ahli al-Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMN) dan dikukuhkan dengan SK PB Syuriyah NU nomor 137/Syur.PB/V/1980. Perkembangan selanjutnya, organisasi thoriqoh yang menginduk pada NU-lah yang sekarang populer di kalangan para kyai, mursyid, dan para pengamal thoriqoh.
D. Thoriqoh-thoriqoh Mu’tabaroh di Indonesia
Seperti yang telah kita singgung di atas, bahwa di Indonesia banyak sekali aliran-aliran thoriqoh yang mu’tabaroh. Jika kita membicarakan semua thoriqoh tersebut, tentunya akan muncul pembahasan yang terlalu panjang. Untuk menghindari hal tersebut, maka dalam makalah ini hanya akan kami bicarakan beberapa thoriqoh yang populer di kalangan pengamal thoriqoh di Indonesia. adapun thoriqoh-thoriqoh yang akan kita bahas adalah sebagai berikut ;
1. Qadiriyah[19]
Merupakan thoriqoh pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi. Qadiriyah merupakan nama thoriqoh yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Abdul Qadir Al-jailani yang terkenal dengan sebutan Syaikh Abdul Qadir Jilani al-Ghawsts atau quthb al-Auliya’. Thoriqoh ini menempati posisi yang sangat penting dalam sejarah spiritualitas islam. Karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi thoriqoh, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang thoriqoh di dunia islam.
Menurut Abdul Qadir al-Jailani, manusia yang sempurna adalah keseimbangan yang sempurna antara materi dan spiritual, yang satu dengan yang lainnya diberi porsi yang adil dan saling menjaga. Mengenai perbuatan manusia, dia berpandangan bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh Tuhan (determinisme). Tetapi dia tidak mau terjerumus pada determinisme yang ekstrim. Karena itu dia mengatakan bahwa manusia memiliki perbuatan sendiri, yang dalam teologi klasik dikenal dengan kasb (perbuatan). Lebih baik dikatakan bahwa perbuatan yang terkait dengan Tuhan adalah tentang penciptaan sedangkan yang terkait dengan manusia adalah tentang perbuatan (kasb).
Di Indonesia, pencabangan thoriqoh Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan thoriqoh Naqsyabandiyah menjadi thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia. Salah satu indikasi tentang pengaruh qadiriyah di Indonesia adalah pembacaan kitab manakib Abdul Qadir al-Jailani pada kesempatan tertentu dalam kehidupan beragama.
2. Thoriqoh Syadziliyah[20]
Thoriqoh syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (w.1258). silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang bergaris keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, anak perempuan nabi Muhammad SAW.
Pemikiran-pemikiran thoriqoh Syadziliyah antara lain:
a. Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layakdalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah swt dan mengenal rahmat Illahi.
b. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat islam.
c. Zuhud bukan berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.
d. Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi millionair yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
e. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, akan kekeringan spiritual yang sedang menimpanya.
f. Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah.
g Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), as-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifah adalah salah satu tujuan ahli thoriqoh atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama, Mawahib atau ‘Ain al-Jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut. Kedua, Makasib atau Badzi al-Majhud yaitu Ma’rifah akan dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadloh, mulazamah al-dzikr, mulazamah al-wudlu, puasa, shalat sunnah, dan amal shaleh lainnya.
3. Thoriqoh Naqsabandiyah[21]
Pendiri Thoriqoh Naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 h/1318M-791H/1389M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.
Ciri menonjol thoriqoh Naqsabandiyah adalah pertama, diikutinya syariat secara tetap, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang seriaus dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan thoriqoh lainnya, thoriqoh naqsabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya ia melancarkan konfrontasi dengan berbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pendangan mereka.
Thoriqoh naqsabandiyah yang menyebar di Indonesia berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan thoriqoh ini ke seluruh pelosok nusantara.
4. Thoriqoh Khalwatiyyah
Di Indonesia, thoriqoh ini banyak di anut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau di tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon dan Irian Barat.
Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama’ dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati yang sampai sekarang masih sangat dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari thoriqoh ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama thoriqoh Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman.
Ajaran-jaran dasar thoriqoh Khalwatiyah antara lain:
a. Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina dihadapan Allah SWT.
b. Taubah: mohon ampun atas segala dosa.
c. Muhasabah: menghitung-hitung atau introspeksi diri.
d. Inabah: berhasrat kembali kepada Allah.
e. Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah.
f. I’tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di Bumi.
g. Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna.
h. Riyadah: melatih diri dengan beramal dengan sebanyak-banyaknya.
i. Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memujinya.
j. Sima’: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.
5. Thoriqoh Syattariyah
Persebaran thoriqoh syattariyah berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Syinkili di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran thoriqoh syattariyah tersebar ke berbagai wilayah di dunia melayu-Indonesia. Diantara murid-murid as-sinkili yang paling terkemuka adalah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari pamijahan, tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama-sama dengan thoriqoh lain, thoriqoh syattariyah yang dikembangkan oleh as-sinkili dan murid-muridnya tersebut menjadi salah satu thoriqoh yang mengembangkan ajaran tasawuf di dunia melayu-Indonesia dengan kecenderungan Neosufisme. Diantara karakteristik yang menonjol dari ajaran neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran syari’ah dengan ajaran tasawuf. Dalam konteks tradisi intelekstual islam di dunia melayu-Indonesia, ajaran tasawuf dengan corak neosufisme ini, telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya keislaman yang muncul, khusunya dibidang tasawuf.
6. Thoriqoh Sammaniyah
Thoriqoh sammaniyah adalah thoriqoh pertama yang mendapat pengikut massal di nusantara. Hal yang menarik dari thoriqoh ini, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdatul wujud yang dianut oleh thoriqoh sammaniyah dan Syathohat yang terucapkan olehnya tidak bertentangan dengan syari’at.
Thoriqoh Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman. Ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy.
Dari semua wilayah nusantara, praktik thoriqoh Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi Selatan. Pengikut thoriqoh Sammaniyah ini sesungguhnya berasal dari bugis dan Makassar. Dimanapun mereka berada, di Kalimantan Timur, di Riau, Malaysia, Ambon dan Papua. Maka kita akan dapati mereka mempraktekkan ajaran sammaniyah ini. Tetapi tidak bbisa diragukan lagi bahwa pusat gerakan sammaniyah ini terdapat di daerah Sulawesi Selatan.
7. Thoriqoh Tijaniyah
Thoriqoh ini didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani yang lahir di ‘Ain Madi, Al-Jazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syeikh ahmad Tijani di yakini oleh kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.
Thoriqoh Tijaniyah memiliki aturan-aturan yang haruis di tegakkan oleh setiap pengamal thoriqoh tersebut. Aturan-aturan dalam thoriqoh Tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tatakrama terhadap guru, sesama islam, dan terhadap dirinya sendiri.
Thoriqoh Tijaniyah masuk ke Indonesia tidak di ketahui secara pasti, tapi ada dua fenomena yang menunjukkan gerakan awal thoriqoh Tijaniyah, yaitu kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah ath-Thoyyib dan adanya pengajaran thoriqoh Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon.
Dewasa ini, thoriqoh Tijaniyah tersebar diseluruh Indonesia, namun yang paling banyak berada didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa timur. Basis jamaah thoriqoh Tijaniyah ada di tiap-tiap daerah. Cirebon dan Garut sebagai basis wilayah jawa Barat, Brebes dab Pekalongan sebagai basis wilayah Jawa Tengah, sementara Surabaya, Probolinggo dan Madura sebagai basis wilayah Jawa Timur.
8. Thoriqoh Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Terkat ini adalah sebuah thoriqoh gabungan dari Thoriqoh Qadiriyah dan Naqsabandiyah (TQN). Thoriqoh ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khotib Sambas yang dikenal sebagai penulis kitab Fathul ‘arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di sebelah utara Pontianak, kalimantan Barat.
Syaikh Naquib al-‘Attas mengatakan bahwa TQN tampil sebagai sebuah thoriqoh gabungan karena Syeikh Sambas adalah seorang Syeikh dari kedua thoriqoh dan mengajarkannya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis dzikir sekaligus yaitu dzikir yang dibaca dengan keras (jahr) dalam thoriqoh qadiriyah dan dzikr yang dilakukan dalam hati (khafi) dalam thoriqoh naqsabandiyah.
Pengembangan ajaran thoriqoh ini yang kelihatannya baru dikenal di Asia Tenggara memang bermula dari kitab Fathul ‘Arifin. Walaupun murid Syeikh Sambas yang utama yaitu Syeikh Abdul Karim Banten tampaknya tidak mengembangkan ajaran TQN secara luas namun generasi sesudahnya terutama di pusat-pusat TQN di Jawa, Qadiriyah Naqsabandiyah relatif maju dan betkembang dengan pesat.
E. Silsilah Beberapa Thoriqoh Mu’tabaroh di Indonesia[22]
Allah SWT
^
Jibril AS
^
Rasulullah SAW
TQN
Ali ibn Abi Thalib >Husein ibn Ali> Zainal Abidin ibn Husain> Muhammad al-Baqir >Ja’far Shodiq >Musa al-Kazim. Abi Hasan Ali Rida> Ma’ruf al-Karkhi> Sari as-Saqathi> Abi Qasim Junaid> Abu Bakar as-Sibli> Abdul Wahid at-Tamimi> Abi Faraj at-Turtusi> Abi Hasan Hakari> Abi Said al-Mahzumi> Abdul Qodir Jaelani >Abdul Aziz> Muhammad al-Hattak> Syamsuddin> Syarifuddin> Nuruddin > Waliyuddin > Hisamuddin> Yahya> Abi Bakar > Abdurrahman> Usman> Abdul Fatah> Muhammad Muradi > Syamsuddin > Ahmad Khatib Sambas > Abdul Karim Abdurrahman / Ibrahim > Muslih ibn Abdurrahman > Durri Nawawi
SYATTARIYYAH
Ali ibn Abi Thalib > Husain ibn Ali > Zainal Abidin ibn Husain> Muhammad al-Baqir>Ja’far Shodiq> Ibnu Yazid > Hidayatullah Sarmasi> Qadi Syatar> Abdullah Syatari> Muhammad Arif >Muhamammad as-Sani> Muhammad Qali> Ibnu Ahsan Ahzanan> Abal Muzafarilah Kay > Syazid as-Sai> Muhammad al-Madruf> Haji Husur> Muhammad Gaus> Wujuddin al-Alawi> Sibgatullah> Muhammad Sanawi >Qusyasi> Mala Ibrahim> Muhammad Tahir> Ibrahim Tahir> Muhammad Said Taharuddin> Muhammad Said> Haji Asy’ari> Muhammad Anwaruddin >Muhammad Saleh ibn Muslim> Muslim ibn Ahmad> Haji Abdullah> Abdul Wahab> Ahmad Wira’i> Muhammad Qoyim
KHALIDIYYAH
Abu Bakar as-Siddiq> Salman al-Farisi> Qosim ibn Muhammad> Ja’far Shodiq >Abu Yazid Bustami> Abi Hasan Ali >Abi Ali al-Fadl >Yusuf Hamadani> Abdul Khaliq al-Gadjuwani> Arif ar-Riwikari> Mahmud Anjirfagnawi> Ali ar-Rumaitini> Muhammad Baba Samasi> Amir Kulai> Bahauddin an-Naqsabandi> Muhammad Alauddin Attar> Ya’qub al-Jarhi> Abdullah al-Ahrar> Muhammad Zaid> Darwis Muhammad >Muhammad Khawajiki> Muhammad Baqi Billah> Ahmad al-Faruk> Muhammad Ma’sum Syaifuddin> Nur Muhammad al-Badwani> Habibillah> Abdullah Dahlawi> Kholid Baghdadi >Sulaiman Kurani >Ismail al-Barus >Sulaiman Zuhdi> Muhammad Hadi Girikusumo> Mansur> Arwani
Syaziliyyah
Ali ibn Abi Thalib >Hasan ibn Ali> Abi Muhammad Jabir >Muhammad al-Ghazwani> Muhammad Fatah as-Su’ud> Said> Said >Abi Qasim Ahmad Marwani> Zainuddin ibn Ishak> Syamsuddin> Tajuddin> Nuruddin> Fahruddin> Taqiyuddin al-Fakiri >Abdurrahman al-Madani> Abdussalam Masyisy >Abil Hasan As-Syadzali >Abil Abbas al-Marasi> Abil Fatah al-Maidum> Taqiyuddin Wasati> Al-Hafid Qalqasyandi >Nur Qarfi> Ali al-Ajuri> Muhammad Azarqani> Muhammad Qasim Saqandari> Yusuf az-Zairi>Muhammad al-Muhaiti> Ahmad Manatullah al-Azhari >Ali ibn Thair Madani> Salim al-Mufti al-Hanafi> Ahmad Nahrawi> Muhammad Abdul Malik ibn Ilyas —>MAULANA MUHAMMAD LUTFI BIN ALI BIN YAHYA
F. Penutup
Demikian makalah ini kami susun, kami kumpulkan dari yang terpisah, kami ramu dengan sebisa kami, sehingga tersajilah makalah di hadapan anda ini. Kami yakin, bahwa dalam makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan mungkin kekeliruan yang lebih banyak disebabkan oleh kebodohan dan kelalaian kami.
Kami mohon pembaca turut berpartisipasi aktif dalam memperbaiki makalah ini, melalui forum diskusi ilmiah yang hidup, sehingga makalah ini menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih atas perhatian anda.
DAFTAR PUSTAKA
· Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo : Romdhoni, 1996
· Abdul Fattah, Munawir, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta : LKiS, 2011
· Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustakla Bani Quraisy, Cet II,1995
· Mufid, Ahmad Syafi’i, Tangklukan, Abangan dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006
· Muslih, Muhammad Hanif, Tarjamah Risalah Tuntunan Thoriqoh Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah, Semarang : Ar-Ridlo, 2011
· Sri Mulyati (et. al), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabaroh di Indonesia, Jakarta : Kencana, Cet II, 2005
· Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah Rencana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung : Mizan Cet IV, 1998
· Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta:Rajawali Press, Cet I, 2004
[1] Al-Malibari dalam Muhammad Hanif Muslih, Tarjamah Risalah Tuntunan Thoriqoh Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah, Semarang : Ar-Ridlo, 2011. hal. 6-7
[2] Muhammad Amin al-Kurdi dalam Muhammad Hanif Muslih, Ibid
[3] Al-Jurjani dalam Muhammad Hanif Muslih, Ibid. hal 8
[4] Habib Muhammad Luthfi ibn Yahya dalam www.thoriqoh-indonesia.org
[5] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo : Romdhoni, 1996. hal 295
[6] Sri Mulyati (et. al), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mu’tabaroh di Indonesia, Jakarta : Kencana, Cet II, 2005. hal 9-10
[7] Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006. hal 49.
[8] Sri Mulyati (et. al), op.cit, hal 8
[9]Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Rencana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung : Mizan Cet IV, 1998 hlm 73
[10] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta:Rajawali Press, Cet I, 2004. hal 292
[11]Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustakla Bani Quraisy, Cet II,1995. hlm 222
[12] Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit hal 157
[13] Ahmad Syafi’i Mufid, op.cit, hal 62
[14] Ibid, 63
[15] Ibid, 65
[16] Ibid, 67
[17] Ibid, 68
[18] Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa thoriqoh dianggap sah apabila silsilahnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dan ajarannya tidak bertentangan dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Legitimasi mu’tabaroh ini diberikan atau disahkan berdasarkan keputusan Muktamar Thariqoh. Sampai saat ini, dalam JATMN ada 45 thoriqoh yang mu’tabaroh. 45 thoriqoh mu’tabaroh itu adalah : Rumiyyah, Rifaiyyah, Sa’diyyah, Bakriyyah, Justiyyah, Umariyyah, Alawiyyah, Abbasiyyah, Zainiyyah, Dasuqiyyah, Akbariyyah, Bayumiyyah, Malamiyyah, Ghaibiyyah, Tijaniyyah, Uwaisiyyah, Idrisyyah, Samaniyyah, Buhuriyyah, Usyaqiyyah, Kubrawiyyah, Maulawiyyah, Jalwatiyyah, Baerumiyyah, Ghazaliyyah, Hamzawiyyah, Haddadiyyah, Matbuliyyah, Sunbuliyyah, Idrusiyyah, Utsmaniyyah, Syadziliyyah, Sya’baniyyah, Kaisyaniyyah, Khadiriyyah, Syattariyyah, Khalwatiyyah, Bakdasyiyyah, Syahrawardiyyah, Ahmadiyyah, Isnawiyyah Gharbiyyah, Thuruqi Akbaril Auliya’, Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah, Khalidiyyah wan Naqsabandiyyah, Ahli Mulazamatil Quran wassunnah wa dalailil khairati wa ta’limi Fathil Qaribi au Kifayatil Awami.
Lihat ; Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta : LKiS, 2011. hal 25-26.
[19] Lihat Sri Mulyati (et.al) hal 26-56
[20] Ibid, 57-81
[21] Ibid, 89-113
[22] Ahmad syafi’i Mufid, hal 299-301
Aneka pendapat asal mula Tasawuf dan Sufi
Sebagaimana telah disinggung di page sebelumnya bahwa menurut sebagain besar ahli sejarah mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua atau dipenghujung abad kedua adalah masa di mana munculnya istilah tasawuf dan sufi, walau hakikatnya secara praktis dan realita lapangan prilaku yang mencerminkan kesufian, -seperti ketawakalan, kesabaran dan rajin beribadah bahkan cenderung tajarrud/tajrid[20] (totalitas) dalam beribadah sehingga terkesan mengenyampingkan mutasabbib/kasab (bekerja) untuk kehidupan dunia- itu sudah ada sejak era sahabat yang hidup bersama Rasul SAW.
Mereka adalah adalah sahabat Nabi SAW yang tinggal dan hidup di emper masjid Nabawi yang populer di kenal sebagai Ahl Suffah. Dan Nabi SAW men-taqrir (mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl Suffah yang tajrid dalam ibadah dan tidak mutasabbib (tidak bekerja). Hal itu dikarenakan Nabi SAW melihat mereka kuat dan bisa mengambil manafaat dari ke-tajridan tersebut. Di samping Nabi SAW pun men-taqrir prilaku sebagian sahabat yang lain yang tidak tajrid tapi mutasabbib dalam mencari rizqi Allah SWT, karena memang Nabi SAW melihat hal itu lebih cocok bagi jenis sahabat yang tidak tinggal di emper masjid.
Senada dengan hal tersebut di atas, al-Qonuji menukil pendapatnya Imam al-Qusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu sendiri, namun orang yang hidup pada generasi pertama bersama Nabi SAW tidak disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas dan mulia bagi mereka selain sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi kedua yang di kenal dengan nama tabi’in. Inilah perkataan Imam Qusyairi yang dinukil al-Qonuji dalam bukunya; قال القشيري : اعلموا أن المسلمين بعد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لم يتسم أفاضلهم في عصرهم بتسمية علىما سوى صحبة الرسول – صلى الله عليه وسلم – إذ لا أفضلية فوقها فقيل لهم الصحابة. ولما أدركهم أهل العصر الثاني سمي من صحب الصحابة : بالتابعين . ثم اختلف الناس وتباينت المراتب . فقيل لخواص الناس ممن لهم شدة عناية بأمر الدين : الزهاد والعباد. ثم ظهرت البدعة وحصل التداعي بين الفرق فكل فريق ادعوا أن فيهم زهادا فانفرد خواص أهل السنة المراعون أنفسهم مع الله – سبحانه وتعالى – الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف . واشتهر هذا الاسم لهؤلاء الأكابر قبل المائتين من الهجرة .
“ Imam al-Qusyari berkata: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW tidak dijuluki dengan julukan yang mencerminkan keutamaan mereka pada masa itu dengan nama selain nama para sahabat Nabi SAW, karena tidak ada nama yang lebih utama dan mulia selain nama tersebut. Begitu juga bagi generasi kedua, yaitu orang- orang yang belajar dan hidup bersama para sahabat tidak dinamai selain nama tabi’in. Namun pada generasi berikutnya (ketiga) saat kaum muslimin sudah berbeda-beda (kekutan iman dan ibadahnya), maka orang yang khusus yang teguh memegang dan mengamalkan agamanya dikenal dengan sebutan zuhhad (jamaknya zahid; orang yang zuhud) dan Ubbad (jamaknya abid; orang yang ahli ibadah).
Kemudian bid’ah meluas di mana-mana dan saling membanggakan golongannya masing-masing; setiap kelompok mengklaim bahwa mereka memilki orang-orang zahid dan abid. Oleh sebab itu sebagian orang khusus (zahid atau abid) dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah yang hanya mencari ridlo Allah SWT dan selalu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan yang melalaikan Allah SWT, maka mereka inilah yang disebut kaum sufi yang mengamalkan ilmu tasawuf sehingga nama ini mulai terkenal dan melekat pada tokoh-tokoh sufi sejak sebelum abad kedua Hijriah.”
Imam Ibn Kholdun pun berpendapat sama dengan Imam al-Qusyairi; yang …
pendapat beliau dinukil al-Qonuji dalam kitabnya:
قال عبد الرحمن بن خلدون : هذا العلم من العلوم الشرعية الحادثة في الملة وأصله : أن طريقة هؤلاء القوم لم تزل عند سلف الأمة وكبارها من الصحابة والتابعين. [24]
“Abdurahman bin Kholdun berkata: “Ilmu (tasawuf) ini termasuk bagian dari ilmu syariat yang baru lahir dalam Islam (baru dalam pengertian menjadi sebuah ilmu yang teoritis dan independen-penulis). Dan pondasi yang membentuknya adalah mereka (para sufi) adalah orang-orang yang berpegang ada prilaku tokoh-tokoh umat Islam, yaitu para sahabat dan tabi’in.”
Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi
Memang mengenai asal-usul atau timbulnya sufisme dalam Islam. terdapat berbagai teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan pengaruh ajaran Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Atau ajaran filsafat mistik Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi juga dipandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
Demikian pula filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan, dan karena pengaruh dunia materi roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke alam asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kafau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan, filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum wihdah al- wujud (manunggaling kawula-Gusti) dan sufi dalam Islam.
Bahkan ajaran Buddha dengan faham nirwananya dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Tan Brahman juga dianggap berpengaruh terhadap sufisme Islam. Namun penelitian modern telah membuktikan bahwa asal-usul sufisme tidak dapat dilacak hanya melalui satu lintasan tunggal saja. Sufisme adalah sesuatu yang rumit, tak ada jawaban yang bersahaja. Ada pengaruh-pengaruh non Islami, Nasrani, Neoplatonisme, Gynostisisme dan Buddhisme dan pengaruh eksternal itu bisa saja terjadi.
tetapi laku tasawuf itu sebenarnya telah inheren dalam ajaran Islam. Dalam Al Qur’an Tuhan menerangkan diri-Nya sebagai al- Dzahir (Lahir) dan yang al-Bathin (Batin). Karena itu. semua realitas dari dunia ini juga memilki aspek lahir (eksoteris) dan batin (esoteris). Dalam Islam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan tasawuf.
Maka dari sudut pandang Islam; Tasawuf seperti al-din atau al-Islam dalam pengertiannya yang universal adalah abadi dan sekaligus universal. Hal ini tidak berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan tasawuf di luar kerangka Islam. Tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu AI-Qur’an. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme Buddha dalam konteks syariat Islam atau sebaliknya.
Dan kalau ada persamaan antara ajaran tasawuf dengan ajaran agama lain; baik dengan ajaran agama samawi (seperti, Yahudi dan Kristen) atau non samawi (seperti, Hindu dan Budha) itu adalah sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi. Ajaran Islam saja dengan ajaran samawi lainnya bukankah memilki kesamaan sumber, yaitu sama- sama bersumber dari Allah SWT, bukankah ibadah dalam Islam seperti khitan, kurban, haji, puasa dan lain-lain adalah warisan dari ibadah umat terdahulu.
Adapun adanya persamaan ajaran tasawuf dengan ajaran agama non samawi itu adalah sebuah kebetulan saja; bukankah cara berpakaian para biksu agama Budha sama persis dengan orang yang sedang berpakaian kain ihram untuk ibadah haji atau umrah, yaitu sama-sama dari dua helai kain tidak berjait dan sama-sama membuka lengan kanan dalam memakainya, walau ada perbedaan tapi dari warna kainnya saja.
Lalu apakah langsung kita katakan bahwa haji dan umrah adalah dipengaruhi ajaran Budha?
Lalu siapakah yang di maksud para sufi atau mutasawwif pada zaman sekarang ini? Ada analisa dan ungkapan menarik dan sederhana yang disampaikan Syekh Yusuf al-Rifai dalam bukunya ketika mendiskripsikan siapakah yang bisa di sebut sufi pada masa ini. Beliau menulis dalam pengantar bukunya al-Sufiyah wa al-Tasawwuf fi Dlau al-Kitab wa al- Sunnah sebagai berikut;
“Julukan sufi, jika dimutlakkan pada zaman sekarang ini, maka yang dimaksud adalah mayoritas kaum muslimin yang bertaqlid pada salah satu Imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam masalah al-Furu’ (mazhab fiqh) dan secara ushul (aqidah) mengikuti pada salah satu dari beberapa ulama salaf yang salih, maka sebagian mereka berpegang teguh pada prinsip teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang menjadi pegangan hampir sebagian besar golongan ahlus sunnah wal jama’ah di hampir seluruh penjuru dunia. Prinsip ajaran mazhab ahlus sunnah wal jama’ah ini (yang bermazhab fiqh pada salah satu Imam empat mazhab dan berteologi dengan teologi Asy’ariyyah) adalah ajaran yang sampai sekarang di ajarkan dan dipraktekkan di hampir sebagian besar negara Islam, seperti Universitas al-Azhar Mesir, kecuali lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara Saudi Arabia atau negara lain yang dalam naungan dan bantuan saudi Arabia yang berpegangan pada prinsip ajaran Islam yang digagas oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya (Wahhabiyyah) yang menamakan diri dengan nama “al-Da’wah al-Salafiyyyah”. Identitas sufi atau sufiyyah pada zaman ini juga identik dengan kaum muslimin yang merayakan peringatan-peringatan hari besar Islam bahkan menjadi hari libur nasional, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ mi’raj dan lain-lain. Di samping itu mereka tetap menjaga tradisi ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW setelah atau sebelum ibadah haji, mengkhatamkan al- Qur’an saat ada kematian, menggunakan hitungan tasbih dalam berzikir pada Allah (atau bershalawat pada Nabi SAW), mentalqin mayit (saat naza’ dan baru selesai dikuburkan), berziarah kubur (pada orang tua, kerabat dan sesama muslim) saat hari raya atau momentum lainnya untuk menganbil pelajaran kematian (kesadaran akan tibanya ajal) dan menghadiahkan pahala baca al-Qur’an (atau tahlil, tasbih, takbir, shalawat dan lainnya) pada arwah-arwah mereka dan masih banyak lagi prilaku-prilaku keagamaan yang telah membudaya
Demikianlah Artikel Pengertian Thoriqoh & Tasawwuf
Sekianlah artikel Pengertian Thoriqoh & Tasawwuf kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan artikel ini.